Oleh : Tri Wibowo Cahyadien ~


Sudah sejauh mana kita mendidik anak itu? Sudahkah sesuai prosedur? Sudahkah wali kelasnya diinformasikan?  Sudah berapa kali anak tersebut mengikuti remedial? Pertanyaan ini jamak terjadi pada saat rapat akhir semester atau kenaikan kelas. Pertanyaan ini biasanya diajukan oleh kepala sekolah terkait keputusan yang akan diambil mengenai naik/ lulusnya seorang peserta didik.

Pertanyaan ini sebenarnya sangat mendasar, namun kadang di sisi lain dapat menyentil kita sebagai pendidik. Mendasar, jika kita sudah sesudah prosedur seperti yang ditentukan. Menyentil, jika kita belum sesuai prosedur dan memiliki penilaian sendiri untuk menentukan nasib peserta didik tersebut. 

Seringkali, orientasi pada capaian Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) menjadi acuan dalam menentukan nasib peserta didik. Baik jika seorang pendidik tidak hanya mengacu pada capaian KKM di kelas saja, tapi diiringi dengan pendampingan, motivasi serta melihat kemauan peserta didik dalam mengejar ketertinggalan capaian nilai sesuai KKM. Apresiasi yang  diberikan pendidik kepada peserta didik dengan melihat usahanya itu merupakan nilai tersendiri dalam proses pendidikan.

Kadang, pendidik juga tidak melihat kendala belajar yang dialami peserta didik. Perlu disadari pula, peserta didik memiliki tuntutan yang besar untuk memahami sekian banyak mata pelajaran dengan target tertentu dalam waktu yang hampir bersamaan. Lalu, apakah kemampuan mutlak terhadap penguasaan semua materi itu akan menjadi peserta didik akan menjalani hidup dengan mudah? Tidak juga.

Pernahkah kita berfikir sebagai guru, urgensi  mata pelajaran yang kita ajarkan? Apakah telah sinergi dengan dunia riil? Sesuai tuntutan zaman? Jika belum percaya diri menjawab pertanyaan tersebut, sebaiknya pendidik harus memiliki keluwesan, kedewasaan, keterbukaan untuk menerima berbagai macam ragam peserta didik di kelas.

Sebuah hal yang wajar, saat di kelas kita menemui berbagai macam pribadi yang unik dalam diri peserta didik kita; ada yang antusias, ada yang rajin, ada yang tidak peduli, ada yang tertarik di bidang. Sudah sepatutnya pendidik memiliki kebijakan diri bahwa nilai mencapai KKM itu bukan segalanya. Ada nilai yang lebih penting, seperti kejujuran, disiplin, tanggung jawab, peka terhadap lingkungan dan sebagainya.

Oleh karena itu, sebagai pendidik sebaiknya melihat peserta didik sebagai pribadi yang unik dan akan tetap hidup dengan segala keunikannya. Bukan mencetak pribadi yang seragam. Kelak pertanyaan itu akan muncul kembali dalam benak kita suatu saat nanti:

“Buat apa pendidikan tinggi, jika tidak ada kejujuran di dalamnya?”

“Bagaimana bisa, pejabat negara banyak yang berpendidikan tinggi, namun miskin nilai kejujuran?”

Lalu, akankah kita selalu percaya diri, bahwa pencapaian KKM akan menjamin hidup peserta didik jadi lebih baik di masa akan datang?


Profil Penulis